Ketika karya foto tidak lagi atas namaku

Menjadi fotografer, atau sekadar orang yang berkarya dengan kamera, bukan cuma soal menghasilkan gambar yang indah. Ada waktu, tenaga, rasa, dan proses panjang di balik satu foto, sayangnya, tidak semua orang menghargai proses itu.

Beberapa waktu lalu, aku menemukan karya fotoku digunakan dan bahkan diperjualbelikan atas nama orang lain. tanpa izin. tanpa kredit. tanpa komunikasi. Awalnya aku kira ini hanya kesalahpahaman tapi setelah ditelusuri, ini jelas bukan sekadar salah unggah atau lupa mencantumkan nama.

Rasanya campur aduk, marah, kecewa, tapi juga lelah. Bukan masalah materi, tapi karena kehilangan pengakuan. Karya yang seharusnya merepresentasikan perjalanan dan identitasku, tiba-tiba berdiri di bawah nama orang lain.

Di era digital, mencuri karya terasa sangat mudah. Satu klik simpan, satu unggah ulang, lalu selesai. Yang sering dilupakan adalah bahwa karya visual tetaplah milik penciptanya. foto bukan barang bebas pakai hanya karena bisa diakses publik.

Aku menulis ini bukan untuk mencari simpati, apalagi drama. tulisan ini adalah pengingat, bahwa menghargai karya orang lain adalah bagian dari etika dasar, baik sebagai kreator maupun sebagai pengguna karya. Meminta izin, memberi kredit, atau membeli lisensi bukan hal yang merendahkan siapa pun.

Bagi sesama fotografer atau kreator visual, kejadian seperti ini mungkin bukan hal baru, banyak dari kita memilih diam, karena merasa melawan akan menghabiskan energi. tapi diam terus-menerus juga membuat praktik seperti ini terasa wajar.

Aku percaya, karya akan selalu menemukan jalannya. tapi Aku juga percaya, penciptanya berhak dihargai. jika kamu membaca ini dan pernah menggunakan karya orang lain, luangkan waktu untuk bertanya... apakah ini sudah etis? apakah pembuatnya tahu? apakah namanya disebut?

Karya bukan hanya soal hasil akhir. ia adalah jejak manusia di baliknya.